BAGAIMANA PRAKTIK AVT DI RUMAH UNTUK ANAK DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN



Hari Sabtu, 23 November 2019 kemarin saya mengikuti seminar parent sharing yang diselenggarakan oleh Med-el Indonesia di Hotel ibis Style T.B Simatupang, Jakarta. Pembicara kali ini adalah Ibu Sinta Nursimah, praktisi Avt senior, sekaligus pendiri Yayasan Aurica Surabaya. Selain itu ada juga Bapak Gutomo atau yang lebih akrab dipanggil bapak Omo, Suami ibu Sinta yang juga ikut menjelaskan sepintas tentang anatomi pendengaran dan syaraf pendengaran. 

Ibu Sinta dan Bapak Omo juga memiliki anak dengan gangguan pendengaran yang verbalnya sudah sangat baik. Sri Andiani namanya atau biasa dipanggil mba dian. Mba Dian ini sudah menyelesaikan S1 psikologi nya dengan status cumlaude lho. Woow hebat ya. 

Mereka berdua adalah tokoh orangtua yang menjadi panutan saya atau bahasa anak jaman sekarang adalah goal relationship banget. Bagaimana tidak mereka berbagi peran dalam mencari ilmu, Ibu Sinta mendalami AVT, bapak Omo mempelajari audiologinya. Klop sekali, yang satu belajar strategi, yang lainnya belajar teknis.

Kemarin tema yang diangkat adalah tentang bagaimana praktik AVT di rumah. Sebenarnya ini bukanlah seminar pertama yang pernah saya ikuti bersama ibu Sinta. Sebelumnya saya juga pernah ikut sekitar 3 tahun lalu saat saya masih berdomisili di Pekanbaru. Pernah saya ulas singkat juga di postingan saya yang lalu. Tapi tentu tidak ada salahnya mengulang biar ilmunya lebih mentok kejedok kalau kata ibu Sinta kemarin:).

Yang pertama akan dibahas adalah, apa itu AVT? Secara bahasa AVT adalah akronim dari Audio Verbal Therapy, yang artinya sebuah terapi dengan mengutamakan pendengaran. Bukan hanya sekedar bisa dengar (hearing) tetapi juga mampu mendengarkan (listening). Terdengar sama tapi sesungguhnya kedua kata itu bermakna beda sekali. Nanti akan kita bahas lebih lanjut di bawah ya.

Ada 3 aspek yang sangat mendukung AVT itu berjalan dengan lancar.  Pertama si anak harus menggunakan teknologi  mendengar secara optimal. ABD maupun CI keduanya adalah alat berteknologi mendengar dengan fungsi yang sama  tetapi ditujukan untuk orang yang berbeda. Rumusnya alat bantu dengar hanya mampu menjangkau 50% dari ambang batas dengar dari gangguan pendengaran si anak.
Jadi jika si anak memiliki ambang batas dengar 100 dB maka abd hanya mampu membuat anak bisa mendengar sampai 50 dB. Apakah 50 dB itu cukup? Dalam percakapan sehari-hari biasanya ambang dengar yang dibutuhkan sekitar 30-40 dB. Hal ini dikenal dengan speech banana. Silahkan diukur sendiri alat berteknologi mendengar anak kita sudah mampu mendengar sampai titik mana ya. Berikut saya kasi gambar detailnya ya
sumber gambar dari internet

Kedua yang juga memberi peran penting dalam AVT adalah Habilitasi keluarga. AVT bukan hanya sekedar mengantar anak terapi dan berakhir sampai sesi selesai. AVT yang baik justru yang diaplikasikan sehari-hari di rumah dengan metode open set. Apa itu open setOpen set lawan kata dari Close set. Jika Close set bermakna tertutup dengan satu tema tertentu (yang biasanya dilakukan di sesi terapi anak belajar dengan satu tema tertentu), maka Open set adalah tidak ada batasan tema. Natural yang terjadi sehari-hari di rumah saja. Misalnya saat hendak makan, saat hendak berjalan-jalan sore di taman, atau apapun lah yang sedang dikerjakan di rumah dibahasakan dengan strategi AVT yang ada.

Dan yang ketiga yang juga sebagai unsur utamanya adalah AVT menggunakan pendengaran sebagai media utamanya. Bukan hanya mendengar (hearing) tetapi juga mendengarkan (listening). Apa sih beda keduanya?

Saya berikan contoh ilustrasinya ya

Ilustrasi I : Ani baru saja menggunakan alat berteknologi mendengarnya. Sejak menggunakan alat, Ani jadi menoleh setiap namanya dipanggil, mendengar ketika ayam berkokok, dan juga kaget ketika ada suara klakson kenderaan bermotor di jalan. Dia mendengar semua sumber suara tersebut (hearing), tetapi belum paham makna dari semua suara yang didengarnya (listening). Ini disebut tahap sadar bunyi.

Ilustrasi II : Eko sudah setahun menggunakan teknologi mendengar dan dihabilitasi dengan cukup baik juga. Eko paham ketika diberi intruksi lebih dari 2 kata, misalnya : Eko tolong ambil mobil warna merah bukan warna biru. Dia tidak hanya menoleh jika ada suara ayam berkokok atau pun suara klakson motor tapi juga mampu membedakan kedua suara tersebut. Dia tahu suara berkokok bersumber dari ayam dan suara klaskon bersumber dari kenderaan bermotor. Ini yang disebut mendengarkan (listening), bukan hanya sekedar sadar bunyi tapi juga paham konsepnya.

Sampai disini paham ya beda nya bisa mendengar(hearing) dengan mampu mendengarkan (listening)..

Ketiga hal itu lah fundamental dari AVT. Sudah melakukan ketiganya? Maka artinya kamu sudah melakukan AVT. Meskipun sebenarnya AVT tidak lah sesederhana itu. Ada strategi-strategi yang harus dilakukan, ada tahapan-tahapan yang harus dilewati dan lain sebagainya.

Menurut ibu Sinta kemarin modal yang paling utama yang harus dimiliki orang tua adalah orang tua harus punya pemahaman tentang Milestone si anak. Dengan demikian orang tua bisa menyadari anaknya sudah berada diposisi mana, sudah di jalur yang tepat atau belum. Dan kalaupun ternyata ada hal-hal lain yang mengalami gangguan dapat diselesaikan dengan baik se-segera mungkin. Orang tua selalu merupakan observer terbaik anak. Amati, cocokkan dengan milestone, jika ada yang salah baru diskusikan dengan profesional terkait. 

Selanjutnya bu Sinta juga memaparkaan apa saja sih yang menjadi target yang harus didapatkan si anak ketika dia sudah ter-intervensi dengan alat teknologi mendengar , berikut skema nya :

Stage 1, pemakaian alat 1-2 bulan anak harus mampu sadar akan bunyi
Stage 2, pemakaian alat 2-5 bulan anak harus mampu membedakan suprasegmental dan asosiasinya
Stage 3, pemakaian alat 6-9 bulan anak harus mampu membedakan segmental dan asosiasinya
Stage 4, pemakaian alat 9-12 bulan anak harus mampu mengidentifikasi berbagai suara dan memori audiotori
Stage 5, pemakaian 18 bulan keatas anak harus mampu mengolah dan memahami bahasa.

Tujuan utama AVT bukan hanya mendengar dan berbicara tetapi lebih dari itu yaitu meng-optimalkan kemampuan otak. Sebuat riset mengatakan ketika seorang bayi diajak berbicara terus menerus yang terstimulasi bukan hanya bagian auditori nya saja, tetapi juga mencakup lainnya termasuk emosi ataupun interaksi sosialnya.
keterangan gambar : beginilah kondisi bayi jika terus diajak berbicara, bagian otak yang 'menyala' bukan hanya auditori saja
Itulah kenapa semua perkembangan anak wajib dilihat satu persatu. Karena justru yang paling sering luput adalah ketika ada  gangguan penyerta lainnya dengan skala ringan yang indikasinya nyaris tak terlihat kasat mata tapi ternyata berefek cukup besar pada hasil akhirnya.  (baca postingan saya sebelumnya tentang gangguan sensori disini).

Tujuan lain dari AVT yang tak kalah pentingnya yaitu menutup jarak antara umur biologis dengan umur pendengaran.

Tahukah kamu kalau anak yang tidak memiliki gangguan pendengaran itu sudah mendengar sejak umur 16 minggu di perut ibunya? Jadi kalaupun  anak yang terlahir tidak bisa mendengar sudah di-intervansi alat bantu dengar  sejak hari pertamanya lahir (walau ini hampir tidak pernah terjadi sih, karena butuh beberapa observasi lebih lanjut sebelum anak didiagnosa Tuli kongenital) tetap saja anak tersebut sudah terlambat 20 minggu dari umur biologisnya. Apalagi jika kita baru mengetahui anak kita tidak bisa mendengar saat si anak berusia 1 tahun, 2 tahun atau bahkan 3 tahun.
sumber gambar : www.verywellfamily.com

Jarak antara umur biologis dan umur pertama sekali dia menggunakan alat berteknologi mendengar inilah yang harus segera dikecilkan, akan lebih baik lagi jika bisa hilang sama sekali. Disitulah peran AVT dengan semua strategi-stareginya yang menunjang si anak agar bisa mendengar dengan optimal.

Nah yang terakhir yang dibahas adalah apa saja sih yang harus selalu di-evaluasi dalam menentukan target ? Ada 6 poin utama yang harus selalu diperhatikan.

PertamaAudisi. Di poin ini yang harus diperhatikan adalah apakah anak sudah bisa 6 suara ling, baik deteksi, identifikasi juga imitasi atau anak sudah bisa memahami kata dalam kalimat, seperti vokal dan suku kata berbeda (misalnya bis vs kereta api),  ataupun kata dengan konsonan sama tetapi vokal berbeda (buka vs buku) dan juga kata yang memiliki pengucapan yang mirip tetapi makna berbeda (satu vs sapu). Perhatikan juga apakah anak sudah mampu auditory memori baik 1 item, 2 item dan seterusnya.
sumber gambar Yayasan Aurica
Poin kedua yang harus diperhatikan adalah bahasa. Perkembangan bahasa apa saja yang sudah dimiliki si anak? Kata benda, kata kerja,kata preposisi (atas-bawah-kanan-kiri), kata sambung(dan-atau-karena), kata negatif (bukan – jangan dst) dan juga kata tanya (apa-siapa-kenapa). Lebih baik lagi jika semua kata-kata yang sudah dimiliki si anak dicatat dengan baik, sehingga akan mudah untuk menelusurinya.

Poin ketiga adalah berbicara. Di awal pemakaian alat berteknologi mendengar biasanya anak hanya mendengar suara suprasegmental alias yang bernada saja. Makanya sangat penting diawal-awal periode ini berbicara dengan anak menggunakan irama agar mudah dipahami . Jadi jika diawal si anak hanya paham suara ibu tetapi tidak suara yang lain, itu wajar saja. Tapi diumur tertentu anak harus sudah mampu mengucapkan huruf vokal, konsonan, diftong, gabungan vokal dan juga gabungan konsonan.

Poin keempat yang juga harus selalu diperhatikan adalah skala perkembangan anak. Seperti yang disebut diatas AVT tidak hanya auditori dan verbal saja, tetapi juga cakupannya masuk ke semuanya, diantaranya kognisi, artikulasi, emosi/interaksi sosial dan juga motorik. Jika salah satu tidak terstimulasi dengan baik, tentu akan menghambat ke perkembangan berbicara anak. Menurut bu Sinta hal ini yang kerap sekali rancu apakah si anak benar-benar mengalami gangguan perkembangan lainnya atau itu hanya dampak dari pendengarannya yang belum terstimulasi dengan baik (karena baru memakai alat bantu dengarnya). Disinilah komunikasi 2 arah antara orangtua dan pelaku profesional (terapis, audiologist, dokter tht dan bahkan dokter tumbuh kembang anak) sangat penting.
sumber gambar dari internet

Poin kelima yaitu kognisi. Perhatikan bagaimana perkembangan kognisi anak, apakah dia mampu bermain sortir warna, konsep angka, konsep warna, konsep bentuk, mencocokkan lawan kata (besar vs kecil, kering vs basah), urutan, dan lain sebagainya. ini cukup penting, karena bahasa akan bisa terbentuk dengan baik jika kognisinya sudah berdiri dengan kokoh juga.

Dan yang terakhir poin keenam yang harus diperhatikan  dan juga sekaligus sebagai tujuan akhirnya adalah komunikasi. Perhatikan bagaimana kontak mata si anak, apakah dia mampu berbicara bergantian dengan temannya, tahu bagaimana etika berkomunikasi, memiliki skill memulai percakapan dan juga apakah si anak memiliki kemampuan Repair Strategi, yaitu suatu keahlian si anak untuk mampu meminta ulang atau berusaha mencari informasi jika tidak paham dengan lawan bicaranya (misalnya jika dia sudah masuk lingkungan sekolah dan tak paham yang ibu gurunya bicarakan, si anak harus mampu dan berani meminta guru tersebut mengulang informasinya dengan mengatakan: “maaf ibu saya tidak paham ibu bicara, bisakah ibu mengulangnya berlahan?”.

Lalu bagaimana jika ke-6 poin tersebut ada yang belum dimiliki anak kita? Justru itu lah pr yang harus terus kita evaluasi. Tanyakan kepada terapis program jangka pendek maupun jangka panjang apa yang harus dilakukan.

Setiap anak punya karakter yang berbeda-beda, kemampuan yang tak sama juga, jadi tidak perlu membandingkan perkembangan anak kita dengan anak lain tapi yang paling penting pastikan si anak sudah berada di jalur yang tepat. Karena ingat pendengaran itu bukan hanya telinga yang bekerja tetapi juga otak keseluruhannya.

Copas dari blog bunda Ferna A mamanya shahnaz